Ketika saya masih muda, ayah saya menabung gajinya setiap bulan untuk membeli bahan bangunan seperti batu bata, semen, besi beton, dan sekop, dan mengumpulkannya di pekarangan untuk membangun rumah sendiri. Saya masih ingat, wajah ayah saya tertutupi dengan debu dan keringat bercucuran di keningnya karena menggali parit. Bagi saya, sebagai seorang anak, sepertinya rumah itu tidak akan pernah selesai, dan saya tidak mengerti mengapa ayah saya bekerja keras untuk membangunnya.
Ketika saya beranjak dewasa, rumah yang dibangun ayah saya selama bertahun-tahun akhirnya selesai dibangun. Itu adalah rumah dua lantai tercantik di antara rumah-rumah di sekitarnya. Dinding luar dicat dengan warna yang bagus, taman untuk Ibu, dan interior dengan nuansa yang hangat… Setiap sudut rumah dan setiap batu bata berisi kasih sayang ayah saya.
Saat saya pulang kerja, saya bisa merasakan betapa berharganya kerja keras ayah saya. Saya membayangkan betapa bangganya ayah saya dan bagaimana perasaannya.
Kemudian saya menikah, lalu pindah ke negara lain, dan orang tua serta adik saya juga datang untuk tinggal di negara lain. Setelah keluarga saya menetap di negara lain selama beberapa tahun, mereka harus menjual rumah yang dua lantai itu sebelumnya.
Ketika saya kembali ke sana untuk mengosongkan rumah, saya melihat lebih dekat jejak yang tertinggal di kamar dan di ruang tamu. Tanda yang di dinding saya buat saat bermain dengan adik saya, di jendela juga ada nama saya tertulis di atasnya, tempat di mana bingkai foto itu digantung… Saya sangat rindu kampung halaman itu sehingga saya akhirnya menangis.
Ayah tidak pernah membeli apa pun untuk dirinya sendiri. Saya tidak peduli berapa biaya untuk membangun rumah, berapa lama waktu yang dibutuhkan, atau apa yang harus saya korbankan. Dengan tujuan menyediakan tempat bagi keluarga kami untuk hidup nyaman dan bahagia, dia membeli bahan-bahan setiap bulan dan diam-diam membangun rumah dalam waktu yang lama.
Saat ini, kebanyakan orang membeli atau menyewa rumah yang sudah jadi dan merenovasinya sedikit demi sedikit. Tetapi rumah kami sangat istimewa. Itu adalah rumah ayah saya yang dibangun dengan segenap cinta, kesabaran, dan pengorbanannya. Berapa banyak orang yang pernah tinggal di rumah yang khusus dibangun oleh ayah?
Saya tidak pernah menyatakan kasih kepada ayah saya atau berterima kasih atas usahanya. Ketika saya melihat tangan ayah saya yang kapalan, saya merasa malu karena saya tidak bisa berterima kasih kepadanya atas semua kerja keras yang dia lakukan untuk keluarga kami.
Bagi ayah saya, rumah bagaikan harta karun, namun ketika ia harus meninggalkan rumah itu dan pergi ke luar negeri, ia tidak segan-segan meninggalkannya. Bagaimanapun indahnya rumah itu, seberapa hati-hatinya ayah saya membengun itu, sepertinya tidak menganggap bahwa rumah itu tidak ada artinya jika itu adalah rumah tanpa keluarga. Yang terpenting adalah semua keluarga bisa berkumpul.
Ayah saya yang menjadi rumah di mana pun kami berada. Saya senang memiliki rumah bernama Ayah. Terima kasih Ayah atas semua yang telah engkau lakukan untuk keluarga kita.